Flickr Images

Total Pageviews

Powered by Blogger.

Popular Posts

Semua Tentang Apotek

Posted by Muhammad Singgih Wicaksono Sunday, May 15, 2016

Perundang undangan apotek; Pengertian, landasan hukum apotek,
persyaratan apotek, tugas dan fungsi apotek, permohonan izin apotek, perizinan apotek,
Pencabutan izin apotek
 
 1.      Pengertian
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu  sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh apoteker. Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian juga meliputi
dalam pengadaan sediaan farmasi, produksi sediaan farmasi, distribusi atau penyaluran sediaan farmasi, dan  pelayanan dalam sediaan farmasi (7).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MenKes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Menurut Undang-Undang RI No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dimaksud dengan perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Sediaan farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik (8).
Apotek merupakan sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang wajib menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik. Pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker di apotek merupakan bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasiannya untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
2.      Landasan Hukum Apotek
Apotek merupakan satu diantara sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang diatur dalam:
a.    Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
b.   Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
c.    Undang-undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
d.   Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
e.    Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.
f.    Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti Apoteker, yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.184/MENKES/PER/II/1995.
g.   Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1980 tentang Perubahan atas PP No.26 Tahun 1965 mengenai Apotek.
h.   Peraturan Menteri Kesehatan No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
i.     Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/ SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
j.     Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
3.      Persyaratan Apotek
Suatu apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apoteker (SIA). Surat Izin Apoteker (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada Apoteker atau Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana apotek untuk menyelenggarakan pelayanan apotek disuatu tempat tertentu. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002, disebutkan bahwa persyaratan-persyaratan apotek adalah:
a.    Untuk mendapat izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi yang lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.
b.   Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.
c.    Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain diluar sediaan farmasi (9).
Persyaratan lain yang harus diperhatikan untuk mendirikan suatu apotek, antara lain:
a.    Tenaga Kerja/Personalia Apotek
Menurut Permenkes No. 889 tahun 2011, Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpat jabatan Apoteker. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002, personil apotek terdiri dari:
1)   Apoteker Pengelola Apotek (APA), yaitu Apoteker yang telah memiliki Surat Izin Apotek (SIA).
2)   Apoteker Pendamping adalah Apoteker yang bekerja di Apotek di samping APA dan atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka Apotek.
3)   Apoteker Pengganti adalah Apoteker yang menggantikan APA selama APA tersebut tidak berada ditempat lebih dari 3 bulan secara terus-menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dan tidak bertindak sebagai APA di Apotek lain.
4)   Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai Asisten Apoteker.
Sedangkan tenaga lainnya yang diperlukan untuk mendukung kegiatan di apotek terdiri dari:
1)   Juru resep adalah petugas yang membantu pekerjaan Asisten Apoteker.
2)   Kasir adalah orang yang bertugas menerima uang, mencatat penerimaan dan pengeluaran uang.
3)   Pegawai tata usaha adalah petugas yang melaksanakan administrasi apotek dan membuat laporan pembeian, penjualan, penyimpanan dan keuangan apotek (9).
b.    Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA)
Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja. Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
1)   SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian;
2)   SIPA bagi Apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian;
3)   SIK bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas produksi atau fasilitas distribusi/penyaluran (7).
Untuk memperoleh SIPA sesuai dengan PP RI  No. 51 tahun 2009  tentang Pekerjaan Kefarmasian, seorang Apoteker harus memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA). STRA ini dapat diperoleh jika seorang apoteker memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)      Memiliki Ijazah Apoteker.
2)      Memiliki sertifikat kompentensi apoteker.
3)      Surat pernyataan telah mengucapkan sumpah dan janji apoteker.
4)      Surat sehat fisik dan mental dari dokter yang mempunyai surat izin praktek.
5)      Surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan etika profesi.
c.    Lokasi
Menurut PerMenKes RI No. 922/MenKes/PER/X/1993, lokasi apotek tidak lagi ditentukan harus memiliki jarak minimal dari apotek lain dan sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi, namun sebaiknya harus mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan, jumlah penduduk, jumlah dokter, sarana pelayanan kesehatan, lingkungan yang higienis, keamanan dan mudah dijangkau masyarakat banyak dengan kendaraan dan faktor-faktor lainnya (10).
d.   Bangunan dan kelengkapannya
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.922/Menkes/Per/X/1993, luas apotek tidak diatur lagi, namun harus memenuhi persyaratan teknis, sehingga kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi serta kegiatan pemeliharaan perbekalan farmasi dapat terjamin (10). Persyaratan teknis apotek adalah bangunan apotek setidaknya terdiri dari:
1)      Ruang tunggu pasien.
2)      Ruang peracikan dan penyerahan obat.
3)      Ruang administrasi.
4)      Ruang penyimpanan obat.
5)      Ruang tempat pencucian alat.
6)      Kamar kecil (WC).
Selain itu bangunan apotek harus dilengkapi dengan:
1)      Sumber air yang memenuhi persyaratan kesehatan.
2)      Penerangan yang cukup sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas dan fungsi apotek.
3)      Alat pemadam kebakaran minimal dua buah yang masih berfungsi dengan baik.
4)      Ventilasi dan sistem sanitasi yang memenuhi persyaratan hygiene lainnya.
5)      Papan nama apotek, yang memuat nama apotek, nama APA, nomor Surat Izin Apotek (SIA), alamat apotek dan nomor telpon apotek (bila ada). Papan nama apotek dibuat dengan ukuran minimal panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan tulisan hitam diatas dasar putih dengan tinggi huruf minimal 5 cm dan tebal 5 cm.
e.    Perlengkapan apotek
Perlengkapan yang wajib dimiliki oleh apotek adalah:
1)      Alat pembuatan, pengelolaan, peracikan obat, seperti: timbangan, mortir, gelas piala dan sebagainya.
2)      Wadah untuk bahan pengemas dan bahan pembungkus, seperti: etiket, wadah pengemas dan pembungkus untuk penyerahan obat.
3)      Perlengkapan dan tempat penyimpanan perbekalan farmasi seperti lemari dan rak untuk penyimpanan obat, lemari pendingin, lemari untuk penyimpanan narkotika dan psikotropika.
4)      Alat administrasi seperti blanko pemesanan obat, kartu stok obat, faktur, nota penjualan, salinan resep, alat tulis dan sebagainya.
5)      Pustaka, seperti Farmakope edisi terbaru dan kumpulan peraturan perundang-undangan serta buku-buku penunjang lain yang berhubungan dengan apotek.
4.      Tugas dan Fungsi Apotek
Berdasarkan PP RI No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1965 tentang Apotek, tugas dan fungsi apotek adalah:
a.    Sebagai tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.
b.   Sebagai sarana farmasi tempat dilakukannya kegiatan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat.
c.    Sebagai sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.
d.   Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada tenaga kesehatan lain dan masyarakat, termasuk pengamatan dan pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan mutu obat (11).
5.      Permohonan Perizinan Apotek
Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja. Surat izin sebagaimana dimaksud berupa:
a.    SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian.
b.   SIPA bagi apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian.
c.    SIK bagi apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas produksi atau fasilitas distribusi/penyaluran, atau
d.   SIKTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.
SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian atau SIKA hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas kefarmasian. Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian berupa puskesmas dapat menjadi apoteker pendamping di luar jam kerja. SIPA bagi Apoteker pendamping dapat diberikan paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas pelayanan kefarmasian. SIKTTK dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas kefarmasian. SIPA, SIK, atau SITTK dapat dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan. SIPA, SIK, atau SIKTTK masih tetap berlaku sepanjang STRA/STRTTK masih berlaku dan tempat praktek/bekerja masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIPA, SIK, atau SIKTTK (10).
Dalam mendirikan apotek, apoteker harus memiliki Surat Izin Apotek (SIA) yaitu surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana apotek untuk mendirikan apotek di suatu tempat tertentu. Wewenang pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Dinkes Kabupaten/Kota). Kepala Dinkes Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri Kesehatan dan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. Selanjutnya, Kepala Dinas Kesehatan wajib melaporkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek adalah:
1)   Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
2)   Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan (Balai POM) untuk melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan.
3)   Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat.
4)   Dalam hal pemeriksaaan tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi.
5)   Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan pemeriksaan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan SIA.
6)   Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan.
7)   Dalam Surat Penundaan, Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal Surat Penundaan.
8)   Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi persyaratan Apoteker Pengelola Apotek dan atau persyaratan apotek, atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya dua belas hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai dengan alasan-alasannya.
Bila Apoteker menggunakan sarana milik pihak lain, yaitu mengadakan kerja sama dengan Pemilik Sarana Apotek, maka harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1)   Pengguna sarana yang dimaksud, wajib didasarkan atas perjanjian kerja sama antara apoteker dan pemilik sarana.
2)   Pemilik sarana yang dimaksud, harus memenuhi persyaratan tidak pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam Surat Pernyataan yang bersangkutan.
6.      Pencabutan Izin Apotek
Setiap apotek harus berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/Menkes/SK/X/2002, Kepala Dinas Kesehatan dapat mencabut surat izin apotek apabila:
a.  Apoteker yang sudah tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan sebagai apoteker pengelola apotek.
b.  Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan terjamin keabsahannya serta tidak memenuhi kewajiban dalam memusnahkan perbekalan farmasi yang tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan dan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep dengan obat paten.
c.  Apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara terus-menerus.
d. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan mengenai narkotika, obat keras, psikotropika serta ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
e.  Surat izin kerja apoteker pengelola apotek dicabut.
f.  Pemilik sarana apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-undangan dibidang obat.
g.  Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai apotek.
Pelaksanaan pencabutan izin apotek dapat dilaksanakan setelah dikeluarkannya:
a.    Peringatan tertulis kepada apoteker pengelola apotek sebanyak 3 kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 bulan.
b.   Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan di apotek.
Pembekuan izin apotek dapat dicairkan kembali apabila apotek telah membuktikan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini dilakukan setelah Kepala Balai POM setempat melakukan pemeriksaan.
Keputusan pencabutan surat izin apotek dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan/Kota disampaikan langsung kepada apoteker pengelola apotek dengan tembusan kepada Menteri dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat serta Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat. Apabila surat izin apotek dicabut, apoteker pengelola apotek atau apoteker pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasinya. Pengamanan tersebut dilakukan dengan tata cara sebgai berikut:
a.    Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, obat keras tertentu dan obat lainnya dan seluruh resep yang tersisa di apotek.
b.    Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci.
Apoteker pengelola apotek wajib melaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau petugas yang diberi wewenang tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventaris yang dimaksud di atas (5).
 

0 comments

Post a Comment